TUGAS
MANDIRI TENTANG
PERANCANGAN,
PERJANJIAN, PEMBIAYAAN
PADA BANK SYARIAH
DISUSUN OLEH
NAILAT HIDAYATI
B / VI
PRODI PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNUVERSITAS
ISLAM NEGRI
SULTAN
SYARIF QASIM RIAU
PEKANBARU
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur dengan tulus dipersembahkan ke hadirat Allah swt. Karena hanya atas ridha
dan karunia-Nyalah maka kami masih dapat menyelesaikan makalah desain pembelajaran “ arti dan tujuan sistem”. Makalah ini berisi tentang hal-hal yang
berhubungan dengan negara dan konstitusi khususnya dalam mata kuliah desain pembelajaran yang kami sajikan
berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.
Kami berharap
semoga makalah ini berguna dan bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya untuk
menambah pengetahuan kita tentang pentingnya desain pembelajaran . Akhir kata, kami mohon maaf atas kesalahan yang
terdapat dalam makalah ini sebelumnya. Semoga Allah swt menerima makalah ini
sebagai bagian amal ibadah dari kami. Terima kasih.
Pekanbaru,
12 april , 2011
Penyusun
1. Hukum
Perbankan : Bank Syariah
Pengaturan tentang
|
UU Perbankan
|
UU Perbankan Syariah
|
Beberapa Pengertian
|
||
Pengertian Bank Konvensional
|
Tidak ada
|
Pasal 1 angka 4 ” Bank yang
menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan menurut jenisnya
terdiri dari atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat”.
|
Pengertian Bank Syariah
|
Tidak ada
|
Pasal 1 angka 7 ” Bank yang
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut
jenisnya terdiri dari atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah”.
|
Prinsip Syariah
|
Pasal 1 angka 13 ” Prinsip syariah
adalah perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
menyimpan dana atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang
dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip
bagi hasil ( Mudharabah ), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (
musharakah ), ……”
|
Pasal 1 angka 12 ” Prinsip Syariah
adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di
bidang syariah”.
|
Akad
|
Tidak ada
|
Pasal 1 angka 13 ” akad adalah
kesepakatan antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak
dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah “.
|
Macam-macam simpanan dan
investasi
|
Pasal 1
|
Pasal 1 disertai dengan jenis
akadnya sesuai prinsip syariah.
|
Asas Perbankan
|
||
Asas Perbankan
|
Pasal 2 ” Perbankan Indonesia
dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan
prinsip kehati-hatian”.
|
Pasal 2 ” Perbankan Syariah dalam
melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi,
dan prinsip kehati-hatian”.
|
Perizinan
|
||
Izin usaha Bank Umum,
BPR,pembukaan kantor cabang
|
Pasal 16 dan Pasal 17 Izin usaha
diberikan oleh Pimpinan Bank Indonesia.
|
Pasal 5 dan Pasal 6 Izin Usaha dan
UUS diberikan oleh Pimpinan Bank Indonesia.
|
Bentuk Badan Hukum
|
||
Bentuk Badan Hukum Bank Umum,
BPR
|
Pasal 21 (1): Bentuk hukum Bank
Umum dapat berupa Perseroan Terbatas, Koperasi atau Perusahaan Daerah.
Pasal 21(2) : Bentuk hukum BPR
dapat berupa Perusahaan Daerah,Koperasi,Perseroan Terbatas, Bentuk lain yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
|
Pasal 7 : Bentuk badan hukum Bank
Syariah adalah Perseroan Terbatas.
( dengan demikian, bentuk badan
hukum
Bank Umum Syariah dan BPRS harus Perseroan Terbatas ) |
Usaha Bank Umum dan BPR / BPRS
|
||
Usaha bank umum
|
Pasal 16 dan 17 : Bank Umum dapat
melakukan 18 macam usaha
|
Pasal 19 dan 20 : BUS dapat
melakukan 32 macam usaha.
UUS dapat melakukan 21 macam
usaha
|
BPR/ BPRS
|
Pasal 13 : BPR dapat melakukan 4
macam usaha.
|
Pasal 21 : BPRS dapat melakukan 5
macam usaha
|
Larangan bagi Bank Umum dan BPR
|
||
Bank Umum
|
Pasal 10 : bank Umum dilarang
melakukan usaha penyertaan modal, melakukan usaha perasuransian,melakukan
usaha lain sebagaimana yang dimaksud Pasal 6 dan Pasal 7
|
Pasal 24 : BUS dan UUS dilarang
melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah, kegiatan
jual beli secara langsung di pasar modal, penyertaan modal kecuali yang
ditetapkan dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan huruf c, kegiatan usaha
perasuransian kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.
|
BPR
|
Pasal 14 : BPR dilarang menerima
simpanan berupa giro, dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran, melakukan
kegiatan valuta asing, penyertaan modal, melakukan usaha
perasuransian,melakukan usaha lain sebagaimana yang dimaksud Pasal 13.
|
Pasal 25 : BPRS dilarang melakukan
kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah, menerima simpanan
berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran, melakukan kegiatan
valuta asing, penyertaan modal, melakukan usaha perasuransian,melakukan usaha
lain sebagaimana yang dimaksud Pasal 21.
|
Penggabungan,
peleburan,pengambilalihan
|
Tidak ada
|
Pasal 17 :
(1) Penggabungan,Peleburan, dan
Pengambilalihan Bank Syariah wajib terlebih dahulu mendapat izin dari Bank
Indonesia.
(2) Dalam hal terjadi
Penggabungan,Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah dengan bank lainnya,
bank hasil Penggabungan, Peleburan tersebut wajib menjadi Bank Syariah.
(3) Ketentuan mengenai
Penggabungan,Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
Struktur Organisasi
|
||
Pemegang saham pengendali
|
Tidak ada
|
Pasal 27
|
Dewan Komisaris dan Direksi
|
Pasal 38 dan Pasal 39
|
Pasal 28 s.d. Pasal 31
|
Dewan Pengawas Syariah
|
Tidak ada
|
Pasal 32
(1) Dewan Pengawas Syariah wajib
dibentuk oleh Bank Syariah dan Bank umum konvenional yang memiliki UUS.
|
Good Corrporate Governace
|
||
GCG/Tata Kelola
|
Tidak diatur secara khusus dalam
pasal tertentu
|
Pasal 34
|
Penyelesaian Sengketa
|
||
Alternatif penyelesaian sengketa
|
Tidak ada
|
Pasal 55
(1) penyelesaian sengketa
perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;
(2) dalam hal para pihak telah
memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad;
(3) penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksudkan ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip
Syariah.
|
Sanksi
|
||
Pidana
|
Pasal 46 s.d. Pasal 51
|
Pasal 59 s.d. Pasal 66
|
Administratif
|
Pasal 52 dan Pasal53
|
Pasal 56 s.d. Pasal 58
- Tidak melaksanakan prinsip
syariah
- Melanggar rahasia bank (+sanksi
pidana )
- Tidak memberikan
keterangan
|
2.
HUBUNGAN HUKUM ANTARA BANK SYARIAH DAN NASABAH
Industri perbankan di Indonesia
segera memasuki fase baru dalam perkembangannya. Tiga belas tahun merupakan
sebuah angka yang cukup matang untuk melihat dan melakukan evaluasi terhadap
keberadaan dan kinerja perbankan syariah selama ini. Menurut data Bank Indonesia
2005, saat ini telah berdiri tiga bank umum syariah (BUS), 17 unit usaha
syariah (UUS), dan 90 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Perbankan syariah
telah menjadi potensi tersendiri di masa datang, walau asetnya masih sekitar
1,35 persen dari total aset perbankan nasional. Tentu banyak hal yang harus
dibenahi untuk menguatkan posisi perbankan syariah secara nasional, seiring
pelaksanaan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Peran dan fungsi perbankan
syariah harus lebih strategis terhadap perbankan nasional dan perekonomian
bangsa ke depan.
Catatan
Ada beberapa catatan kritis untuk pembenahan, sehingga perbankan syariah bisa tumbuh dan berkembang dalam menghadapi persaingan global. Dan yang pasti, terpenuhinya kepatuhan terhadap pelaksanaan nilai-nilai syariah dalam sistem operasional perbankan syariah.
Pertama, belum adanya Undang-undang (UU) Perbankan Syariah (legal formal), adalah titik kritis pertama yang paling mendesak dalam perkembangan industri perbankan syariah sejak berdirinya Bank Muammalat pada 1992. Melihat perkembangan dan antusiasme masyarakat dalam menyambut keberadaan perbankan syariah, rasanya payung hukum itu sudah sangat mendesak.
Banyak hal yang bisa terselesaikan
dengan adanya UU Perbankan Syariah. Misalnya perizinan, pengembangan, posisi
perbankan syariah dalam arsitektur perbankan nasional, persoalan merger, fungsi
pengawasan, dan lain-lain. Sekarang, tanggung jawab ini ada ditangan para
anggota legislatif (terutama fraksi berbasis Islam) untuk memperjuangkan agar
RUU Perbankan Syariah segera disahkan.
Kedua, masalah ekuitas pembiayaan
(equity financing). Sampai saat ini, persoalan tersebut --dalam hal skim
mudharabah dan musyarakah-- masih terus dihadapi oleh perbankan syariah.
Besarnya angka skim murabahah (debt financing) di mana data BI terakhir
menyebutkan mencapai angka 63,16 persen (posisi Agustus 2005, BI), membuat
peran dan fungsi perbankan syariah belum begitu dirasakan masyarakat.
Perbankan syariah perlu mencari
terobosan terbaru untuk mengembangkan equity financing, terutama skim
mudharabah dan musyarakah, di mana angka BI terakhir menyebutkan berada pada
kisaran sekitar 31,86 persen. Di samping itu, penyaluran dana ke sektor riil
belum optimal. Hal ini tecermin dari besarnya dana perbankan syariah di BI yang
mencapai Rp 1,3 triliun, atau 28 persen dari total dana pihak ketiga (DPK).
Dengan demikian, ke depan diharapkan peran dan fungsi
perbankan syariah menggerakkan sektor riil untuk membangun basis sosial ekonomi
masyarakat. Dan sudah seharusnya BI melahirkan sebuah standardisasi dalam
bentuk benchmark mengenai indikator-indikator pencapaian yang ideal dari
perbankan syariah untuk menuju perbankan syariah yang berbasis equity financing
(sektor riil).
Ketiga, masalah duplikasi produk.
Munculnya persoalan itu ke permukaan karena paradigma pengembangan perbankan
syariah di Indonesia selama ini masih terjebak pakem perbankan konvensional.
Selama ini, model yang berkembang dalam perbankan konvensional adalah tidak
adanya hubungan (relationship) yang kuat antara debitor dan kreditor. Pola yang
terbangun hanya hak dan kewajiban tanpa ada komunikasi intens kedua belah
pihak. Tanpa disadari, pola ini juga terjadi dalam setiap transaksi pembiayaan
perbankan syariah (synthetic loan).
Perbankan syariah harus mampu mengubah paradigma yang selama ini digunakan perbankan konvensional menjadi pola kemitraan (partnership) yang lebih komunikatif dan memberikan pelayanan yang lebih optimal (full advise). Pemilik modal (rabbul maal) --dalam hal ini pihak bank atau nasabah lainnya-- lebih proaktif mengawasi dan memberikan saran kepada pihak yang menjalankan usaha (mudharib)
Perbankan syariah harus mampu mengubah paradigma yang selama ini digunakan perbankan konvensional menjadi pola kemitraan (partnership) yang lebih komunikatif dan memberikan pelayanan yang lebih optimal (full advise). Pemilik modal (rabbul maal) --dalam hal ini pihak bank atau nasabah lainnya-- lebih proaktif mengawasi dan memberikan saran kepada pihak yang menjalankan usaha (mudharib)
Keempat, tidak terpenuhinya kondisi
dan persyaratan dari skim murabahah. Besarnya skim pembiayaan murabahah telah
memberi kesan perbankan syariah tidak terlalu mengambil risiko dalam
menjalankan usahanya. Dalam kaidah fikih, terdapat syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk memberikan pembiayaan dalam bentuk murabahah. Di antaranya objek
barang yang akan di jual harus ada pada waktu transaksi, barang yang akan
dijual harus sudah dimiliki oleh si penjual, dan objek atau barang yang dijual
tersebut harus ada secara fisik pada saat di jual.
Di satu sisi bisa dipahami, sebagai
industri yang masih baru berkembang, perbankan syariah tentu cenderung bertahan
sebagai pemain yang aman (safety player). Karena revenue atau profit yang akan
dihasilkan dari skim pembiayaan murabahah ini lebih pasti, dengan risiko minim.
Tapi kenyataanya, sering terjadi di lapangan perbankan syariah hanya mengambil
sisi profit oriented saja, tanpa memperhatikan kaidah fikih dari syarat-syarat
berlakunya skim murabahah.
Kelima, tidak adanya perbedaan
secara ekonomi antara skim murabahah dan bunga pinjaman. Tidak bisa dipungkiri
sistem penghitungan antara skim murabahan dengan bunga pinjaman (interest loan)
tidak terlalu jauh berbeda, bahkan bisa dikatakan sama
Secara konvensional penghitungan interest loan merujuk
kepada persamaan: D = L (I+rt), di mana D = Debt (hutang), L = Loan (pinjaman),
rt = rate of interest period (periode tingkat suku bunga). Sementara itu, skim
murabahah menggunakan model penghitungan, Pm = Pc (I+rt), di mana Pm = Price of
murabahah (harga dari murabahah), Pc = Price of cost, dan rt = rate of revenue
period.
Dilihat dari metode penghitungannya,
yang menjadi titik kritis perbedaan keduanya adalah cara pandang terhadap rt.
Bagi konvensional, rt didefinisikan sebagai tingkat bunga yang sudah ditetapkan
oleh pihak bank diawal, untuk mendapatkan keuntungan dari selisih harga pokok
dengan pembayaran cicilan (instalment), dan juga disebabkan karena berlakunya
teori time value of money. Sementara bank syariah mendefinisikan rt sebagai fee
yang diperoleh oleh pihak bank atas jasa yang sudah diberikan. Tapi kadang
pemenuhan akan diakuinya transaksi murabahah dalam ushul fikihnya sering tidak
diperhatikan.
Keenam, Arbitrase Muamalah. Belum
disahkannya UU Perbankan Syariah akan membuat instrumen-instrumen pendukung
perbankan syariah belum bisa dijalankan karena akan terkendala dengan payung
hukum. Salah satu yang paling mendesak adalah keberadaan lembaga yang akan
memfasilitasi setiap masalah yang timbul dalam setiap sengketa yang ada.
Diharapkan nantinya UU perbankan syariah bisa memfasilitasi pembentukan
instrumen khusus ini. Karena semakin pesat perkembangan perbankan syariah, akan
semakin banyak persoalan dan masalah menyangkut hubungan antarinstitusi dan
individu.
3. ANATARA AKAD DAN PERJANJIAN
Perjanjian
yang digunakan merupakan akad takafuli dan bukan akad tadabuli, bersifat
tolong menolong (ta’awun) dengan menggunakan prinsip dasar tabarru’
dan mudharabah serta tidak mengandung unsur Riba (bunga
uang), Maisir (Judi), dan Gharar (untung-untungan) yang
dilarang dalam akad-akad keuangan Islami. Konsep asuransi syariah adalah konsep
tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan sebagaimana telah digariskan dalam
QS. Al-Maidah : 2 yang artinya dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan
takwa. Ini berarti dalam asuransi syariah semua peserta merupakan satu keluarga
besar akan saling melindungi dan secara bersama-sama akan menanggung risiko
keuangan dari musibah yang mungkin terjadi. Konsep asuransi syariah ini
dilakukan melalui mekanisme perjanjian (akad). Asuransi syariah adalah usaha
kerjasama saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang dalam
menghadapi terjadinya musibah atau bencana melalui perjanjian yang disepakati
bersama. Perjanjian syariah yang digunakan dalam asuransi syariah bersifat
takafuli dan menggunakan prinsip dasar tabarru’ dan mudharabah.
Perjanjian
bersifat ta’awun dan merupakan akad takafuli dengan prinsip mudharabah
dan di dalamnya sudah mencakup tabarru’, ini mengandung pengertian
bahwa akad asuransi syariah adalah akad takafuli bukan tadabuli,
yaitu akad yang menggunakan prinsip tolong menolong (ta’awun) dengan
adanya dana tabarru’ dan dalam pengelolaan dana (investasi) mengunakan
prinsip mudharabah melalui instrumen investasi syariah. Akad takafuli
yaitu perjanjian sekelompok orang yang disebut partisipan yang secara timbal
balik saling menanggung atau menanggung bersama risiko diantara partisipan atas
dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Akad asuransi syariah
ini merupakan akad takafuli yaitu akad yang menggunakan prinsip tolong
menolong (ta’awun) dengan adanya dana tabarru’ dan dalam
pengelolaan dana (investasi) menggunakan prinsip mudharabah.
Akad takafuli
dalam perusahaan asuransi syariah terdiri dari akad tabarru’ dan
akad tijari, dengan menggunakan prinsip mudharabah dan
prinsip tabarru’. Akad tabarru’ untuk kepentingan sosial,
bukan untuk mencari keuntungan dan bersifat social oriented
(hibah/charity), sedangkan akad tijari untuk kepentingan
komersial/bisnis, bertujuan mencari keuntungan dan bersifat profit
oriented. Akad tabarru’ terkait dengan hubungan antara sesama
peserta dengan prinsip saling tolong menolong dan saling menanggung antara satu
peserta dengan peserta lainnya (risk sharing), sedangkan akad tijari
terkait dengan hubungan antara pemegang polis dengan perusahaan, operasional
dan fungsi perusahaan asuransi. Implementasi akad tabarru’ pada
asuransi syariah, yaitu peserta memberikan kontribusi berupa dana tabarru’
yaitu sebagian dari premi yang diikhlaskan untuk tolong menolong dan saling
menanggung setiap risiko yang ada diantara peserta (risk sharing),
perusahaan asuransi bertindak sebagai operator/administrator dalam hal
pengumpulan dana peserta (pool of fund), bukan untuk mendapatkan
keuntungan tetapi untuk kemaslahatan umat (social oriented).
Implementasi akad tijari pada perusahaan asuransi syariah adalah
perusahaan asuransi berperan sebagai underwriter dan administrator, collector
serta fund manager dimana kontribusi dari peserta bukan sebagai
pendapatan tetapi merupakan amanah untuk dikelola secara syariah, perusahaan
asuransi akan mendapatkan management fee dari fungsinya sebagai
administrator dan untuk memanfaatkan dana Tabarru’/pool of hibah fund,
perusahaan akan mendapatkan bagi hasil atau fee.
Pada prinsipnya akad asuransi
syariah menggunakan prinsip tabarru’ dan mudharabah, namun
dalam perkembangannya secara operasional asuransi syariah tidak hanya
menggunakan akad mudharabah dan akad tabarru’ tetapi juga
tidak menutup kemungkinan menggunakan akad wakalah, wakalah bil ujrah,
musyarakah, mudharabah musytarakah. Perjanjian asuransi syariah tidak
hanya menggunakan akad tabarru’ dan mudharabah tetapi juga
akad-akad lainnya sebagaimana yang terdapat dalam Fatwa DSN-MUI seperti tabarru’,
mudharabah, wakalah/wakalah bil ujrah, mudharabah musytarakah serta dalam
suatu perjanjian asuransi dapat mengandung beberapa akad. Berdasarkan produk
dasar asuransi syariah, perjanjian asuransi syariah menggunakan akad tabarru’,
akad mudharabah, dan akad wakalah bil ujrah. Mekanisme
asuransi syariah berupa perjanjian (akad) dan berlaku untuk jangka waktu
tertentu, bisa short term ataupun long term.
Fenomena yang berkembang saat ini
menunjukkan makin berkembangnya pertumbuhan sistem keuangan dan perbankan
syariah di tanah air secara khusus dan di dunia secara umum. Hal ini disebabkan
karena sistem keuangan syariah salah satu diantara yang mampu bertahan dalam
krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi saat ini. Di satu sisi hal ini
merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan dan patut mendapatkan apresiasi,
namun di sisi lain perlu adanya peningkatan pemahaman dari seluruh masyarakat
tentang informasi yang lengkap mengenai produk pembiayaan berdasarkan
akad-akad syariah, sehingga masyarakat menyadari betul manfaat dan
keunggulannya dibanding dengan sistem konvensional. Dengan kesadaran yang
muncul dari pemahaman ini diharapkan mampu menghantarkan mereka menjadi
konsumen/nasabah yang loyal terhadap produk-produk syariah.
4. pedoman umum penyusunan suatu
kontrak perjanjian
A. Prinsip Titipan atau Simpanan
(Depository)
AL-WADI’AH
Pengertian:
Wadi’ah merupakan simpanan (deposit)
barang atau dana kepada pihak lain yang bukan pemiliknya untuk tujuan keamanan.
Wadi’ah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang kepada
pihak yang menerima titipan dengan catatan kapanpun titipan diambil pihak
penerima titipan wajib menyerahkan kembali uang/barang titipan tsb dan yang
dititipi menjadi penjamin pengembalian barang titipan.
Landasan
Syari’ah:
- “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk
menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya...” (QS.
An-Nisaa: 58).
- Abu Hurairah meriwayatkan bhw Rasulullah SAW
bersabda: “Tunaikanlah amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan
membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu” (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi, dan Hakim).
- Ijma para ulama terhadap legitimasi al-wadi’ah
krn kebutuhan manusia thd hal itu sebagaimana dikutip oleh Dr. Wahbah
al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatiha.
B. Prinsip Bagi Hasil
(Profit-Sharing)
1. AL-MUSYARAKAH
(PARTNERSHIP, PROJECT FINANCING PARTICIPATION)
Pengertian:
Al-Musyarakah adalah akad kerjasama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana atau amal (expertise) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Landasan
Syariah:
- “...maka mereka berserikat pada sepertiga...”
(QS. An-Nisa: 12)
- Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua
orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya”
(HR. Abu Dawud dan Hakim)
- Ijma para ulama sebagaimana yang dikutip oleh
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni telah berkata, “Kaum
muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara
global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen
darinya”.
Jenis-jenis al-Musyarakah:
- Syirkah al-‘Inan adalah
kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi
dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi
dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati diantara mereka.
Akan tetapi, porsi masing-masing pihak baik dalam dana maupun kerja atau
bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan
kesepakatan.Mayoritas ulama membolehkan jenis al-musyarakah ini.
- Syirkah Mufawadhah adalah
kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan
suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap
pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat
utama dari jenis al-musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan,
kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak.
- Syirkah A’mal adalah kontrak kerjasama dua
orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi
keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerjasama dua orang arsitek utk
menggarap sebuah proyek atau kerjasama dua orang penjahit untuk menerima
order pembuatan seragam sebuah kantor. Al-Musyarakah ini kadang-kdadang
disebut musyarakah abdan atau sanaa’i.
- Syirkah Wujuh adalah kontrak antara dua
orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam
bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan
menjual barang tsb secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan
kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap
mitra. Jenis musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara
kredit berdasar pada jaminan tsb. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut
sebagai musyarakah piutang.
2. AL-MUDHARABAH (TRUST
FINANCING, TRUST INVESTMENT)
Pengertian:
Mudharabah berasal dari kata dharb
yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih
tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.
Secara teknis al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana
pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si
pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian
si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tsb.
Landasan Syariah:
- “...dan dari orang-orang yang berjalan di muka
bumi mencari mencari sebagian karunia Allah SWT...” (QS. Al-Muzammil: 20).
- Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina
Abbas bin Abdil Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah
ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni
lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan
tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas pada dana tersebut.
Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah
pun membolehkannya”. (HR. Thabrani).
- Ijma para Sahabat sebagaimana dikutip oleh Imam
Zaila’i, beliau menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap
legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah.
Jenis-jenis
al-Mudharabah:
- Mudharabah Muthlaqah: adalah bentuk kerjasama
antara shahibul mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak
dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam
pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan
ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul mal ke
mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
- Mudharabah Muqayyadah: adalah kebalikan dari
mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha,
waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan
kecenderungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia
usaha.
3. AL-MUZARA’AH (HARVEST-YIELD
PROFIT SHARING)
Pengertian:
Al-Muzara’ah adalah kerjasama
pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara
dengan imbalan bagian tertentu (presentase) hasil panen.
Al-Muzara’ah seringkali diidentikan
dengan mukhabarah. Diantara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai
berikut. Muzara’ah: benih dari pemilik lahan, sedangkan mukhabarah: benih dari
penggarap.
Landasan Syariah:
- Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah
SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka
masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan
tanaman.
- Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jbir yang
mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah
dengan rasio bagi hasil 1/3:2/3 , 1/4:3/4 , 1/2:1/2, maka Rasulullah pun
bersabda: “Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap.
Barangsiapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya”
- Ijma. Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu
ja’far: “Tidak ada satu rumahpun di Madinah kecuali penghuninya mengolah
tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4. Hal ini telah
dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar
bin Abdil Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar dan keluarga Ali”.
4. AL-MUSAQAH (PLANTATION MANAGEMENT FEE
BASED ON CERTAIN PORTION OF YIELD)
Pengertian:
Al-Musaqah adalah bentuk yang lebih
sederhana dari muzara’ah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas
penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas nisbah
tertentu dari hasil panen.
Landasan Syariah:
1.
Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW pernah
memberikan tanah dan tanaman kurma di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk
dipelihara dengan mempergunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalan,
mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.
2.
Ijma. Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali
bin Husein bin Ali bahwa Rasulullah SAW telah
menjadikan penduduk Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atasdasar bagi
hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, serta keluarga-keluarga
mereka sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4. Semua telah dilakukan oleh
Khulafa ar-Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak telah
mengetahuinya, tetapi tak ada seorangpun yang menyanggahnya. Berarti, ini
adalah suatu ijma sukuti dari umat.
5. FATWA DAN
PENAFSIRAN IMPLEMENTATIFNYA DALAM REGULASI
Penegasan legal formal tentang otoritas
dan mekanisme kepatuhan syariah dalam regulasi perbankan syariah di Indonesia
baru ada setelah berlakunya Undang-Undang (UU) nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, pada 16 Juli 2008. UU tersebut menggariskan bahwa otoritas kepatuhan
syariah berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan
melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS), yang harus dibentuk pada masing-masing
Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) pada bank konvensional1.
Penjabaran otoritas MUI itu diwujudkan dalam dua hal.
Pertama, tahap perumusan prinsip syariah. MUI menjadi otoritas resmi dalam
membuat fatwa tentang prinsip syariah2. Karena fatwa MUI bukan bagian sumber
hukum dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang mengikat3, maka agar
berkekuatan operasional, fatwa itu dituangkan dalam wadah legal berupa
Peraturan Bank Indonesia (BI). Proses peralihan dari fatwa MUI menjadi
Peraturan BI itu dikelola oleh Komite Perbankan Syariah (KPS), sebuah komite di
internal BI.4
Kedua, tahap pengawasan. Mekanisme pengawasan kepatuhan syariah
diwujudkan dalam bentuk penyediaan divisi kontrol internal bank syariah berupa
DPS di setiap bank syariah. Peran MUI adalah memberi rekomendasi calon anggota
DPS sebelum ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). DPS inilah yang
merepresentasikan otoritas kepatuhan syariah dari MUI untuk diterapkan pada
tiap bank syariah.5 DPS menjadi kepanjangan tangan MUI untuk memonitor
implementasi fatwa MUI. Setahun sebelum lahir UU Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, keharusan DPS di setiap perseroan yang melakukan usaha
berbasis syariah sudah diamanatkan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(PT). Berikut kutipan pasal 109 dalam UU itu6: (1) Perseroan yang
menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai Dewan
Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas. (2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang
diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. (3) Dewan Pengawas
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan
saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan
prinsip syariah. Bila ditarik ke belakang lagi, sebelum ada UU PT,
keberadaan DPS telah menjadi praktek yang hidup dalam penyelenggaraan perbankan
syariah di Indonesia. Sepanjang praktek itu, MUI sudah berperan sebagai pemberi
rekomendasi calon personil DPS7. Telaah terhadap penunjukan MUI sebagai
pemegang otoritas kepatuhan syariah ini akan lebih bermakna bila ditempatkan
sebagai hasil perdebatan sengit di parlemen di antara tiga model otoritas kepatuhan
syariah yang digulirkan. Dua opsi lain yang ditolak menawarkan skema bahwa
pemegang otoritas kepatuhan itu adalah sebuah dewan atau komite independen di
bank sentral. Karena dua opsi itu dinilai dapat membuat otoritas fatwa tidak
indenden, maka kemudian dipertahankan di MUI.
Pembahasan
klausul otoritas kepatuhan syariah dalam UU Perbankan Syariah 2008 diwarnai
tarik menarik tajam. Pembahan RUU Perbankan Syariah sendiri memang kental tarik
menarik politik. Hal itu karena RUU ini berada dalam konteks besar polemik
politik cukup panjang, tentang bagaimana proporsi agama (termasuk syariah)
dalam bingkai negara-bangsa.dan Indikasi kentalnya nuansa politik itu ditandai walk
out-nya Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS) dari pembahasna RUU sejak awal.
Bagi penolak pembahasan seperti PDS ini, usulan RUU bermuatan syariah merupakan
keganjilan di tengah negara-bangsa (bukan negara agama) seperti Indonesia. Tapi
bagi mayoritas fraksi, adopsi elemen agama tertentu dalam sistem hukum nasional
merupakan hal yang wajar, sejauh memenuhi argumen yuridis, sosiologis, dan
filosofis dalam proses legislasi.
Ada dua materi yang menyedot perdebatan paling alot dalam pembahasan
RUU Perbankan Syariah
pertama, masalah mekanisme penyelesaian
sengketa. Pokok perdebatannya adalah, apakah penyelesaian sengketa menjadi
kewenangan absolut lingkungan peradilan agama, ataukah lingkungan peradilan
umun, atau bisa secara opsional, terserah para pihak yang bertransaksi, sesuai
kesepakatan dalam akad.
Kedua, masalah otoritas yang berwenang mengontol prinsip kepatuhan syariah
(syariah compliance). Apakah otoritas itu dialihkan pada badan di bank sentral
atau otoritas jasa keuangan, dengan catatan dikritik dapat menurunkan
independensi otoritas fatwa, atau dikukuhkan berada di MUI, lembaga non-negara
dan dinilai lebih independen12, sebagaimana praktik yang berlangsung sejak awal
2000-an.
Kronologi
polemik hingga mencapai kompromi akhir nanti dipaparkan untuk kemudian
dianalisis, apakah formula kompromi itu secara normatif masih bisa menjamin
terselanggaranya tata kelola pebankan syariah yang baik atau lebih mencerminkan
hasil adu silang kepentingan, sehingga aspek profesionalitas cenderung
dinomorduakan. Apa keunggulan dan kelemahan hasil kompromi itu. Sebelum
dilakukan analisis, akan dikemukakan, bagaimana konteks panjang politik hukum
di bidang perbankan syariah selama ini.
Latar
belakang perjalanan politik hukum regulasi perbankan syariah di Indonesia
penting dikemukakan sekilas untuk bisa memahami konteks dan suasana kebatinan
di balik terjadinya tarik menarik saat pembahasan klausul otoritas kepatuhan
syariah dalam RUU Perbankan Syariah. Dalam sejarahnya, selama ini, negara
kurang begitu peduli mengurus payung regulasi perbankan syariah. Karena itu,
pertumbuhan awal perbankan syariah lebih banyak dirawat oleh lembaga
non-negara, dalam hal ini MUI. Maka ketika otoritas MUI dalam kepatuhan syariah
tiba-tiba hendak dicabut, di saat perkembangan dan prospek perbankan syariah
amat menjanjikan, tentu saja sejumlah pihak tidak bisa menerima begitu saja.
Bukan
semata alasan ikatan emosional, tapi juga relevan bila MUI mengemukakan alasan
kompetensi dan independensi. Karena MUI yang selama ini tahu persis problem
keagamaan yang melilit perjalanan perbankan syariah, dan MUI pula yang selalu memberi
fatwa, sebagai solusi keagamaan atas problematika perbankan
syariah, maka bisa dimengerti bila MUI yang dipandang memiliki kompetensi
paling terlatih dan teruji. Berikut kutipan pernyataan Menteri Keuangan Sri
Mulyani saat menyampaikan tanggapan pemerintah terhadap RUU Perbankan Syariah
usulan DPR. Ia menolak
gagasan membentuk DSN yang menjadi bagian bank sentral atau otoritas jasa
keuangan Berkenaan dengan keberadaan Dewan Syariah Nasional yang saat ini
berada di bawah pembinan dan pengawasan Majelis Ulama Indonesia, kami berpendapat
bahwa sebagai suatu lembaga independen yang berwenang mengeluarkan fatwa atas
jenis-jenis kegiatan, produk, dan jasa keuangan syariah serta mengawasi
penerapan fatwa dimaksud olehlembaga-lembaga keuangan syariah, maka dalam
rangka tetap menjaga independensi Dewan Syariah Nasional, sudah seharusnyalah
Dewan Syariah Nasional tetap berad di bawah Majelis Ulama Indonesia dan bukan
menjadi bagian dari instansitertentu.
DAFTAR PUSTAKsA
Ir. Adiwarman A. Karim, S.E, MBA, M,A,E,P. Bank Islam
Analisis Fiqih Dan Keuangan. PT Raja Grapido Persada: Jakarta 2010
Ahmad Selamet dan Hoscaro, Manajemen Risiko Bank
Syariah, 2008, <http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/11/manajemen_risiko_bank_syariah.html>
Diakses pada 01 November 2008.
Ferry N. Idroes, Manajemen Risiko Perbankan:
Pemahaman Pendekatan 3 Pilar Kesepakatan Basel II Terkait Aplikasi Regulasi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: