Minggu, 24 Juni 2012

PERANCANGAN, PERJANJIAN, PEMBIAYAAN PADA BANK SYARIAH


TUGAS MANDIRI TENTANG
PERANCANGAN, PERJANJIAN, PEMBIAYAAN
 PADA BANK SYARIAH


UIN



DISUSUN OLEH
NAILAT HIDAYATI
B / VI



PRODI PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNUVERSITAS ISLAM NEGRI
SULTAN SYARIF QASIM RIAU
PEKANBARU
2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur dengan tulus dipersembahkan  ke hadirat Allah swt. Karena hanya atas ridha dan karunia-Nyalah maka kami masih dapat menyelesaikan makalah desain pembelajaran “ arti dan tujuan sistem”. Makalah ini berisi tentang hal-hal yang berhubungan dengan negara dan konstitusi khususnya dalam mata kuliah desain pembelajaran yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.
Kami berharap semoga makalah ini berguna dan bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya untuk menambah pengetahuan kita tentang pentingnya desain pembelajaran . Akhir kata, kami mohon maaf atas kesalahan yang terdapat dalam makalah ini sebelumnya. Semoga Allah swt menerima makalah ini sebagai bagian amal ibadah dari kami. Terima kasih.

                                                                                Pekanbaru, 12  april ,  2011


                                                                                                 Penyusun






1. Hukum Perbankan : Bank Syariah

Pengaturan tentang 
UU Perbankan 
UU Perbankan Syariah 
Beberapa Pengertian 
Pengertian Bank Konvensional 
Tidak ada 
Pasal 1 angka 4 ” Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan menurut jenisnya terdiri dari atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat”.
Pengertian Bank Syariah 
Tidak ada 
Pasal 1 angka 7 ” Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri dari atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah”.
Prinsip Syariah 
Pasal 1 angka 13 ” Prinsip syariah adalah perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpan dana atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil ( Mudharabah ), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal ( musharakah ), ……”
Pasal 1 angka 12 ” Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”.
Akad 
Tidak ada 
Pasal 1 angka 13 ” akad adalah kesepakatan antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah “.
Macam-macam simpanan dan investasi 
Pasal 1 
Pasal 1 disertai dengan jenis akadnya sesuai prinsip syariah. 
Asas Perbankan 
Asas Perbankan
Pasal 2 ” Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”. 
Pasal 2 ” Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian”.
Perizinan 
Izin usaha Bank Umum, BPR,pembukaan kantor cabang 
Pasal 16 dan Pasal 17 Izin usaha diberikan oleh Pimpinan Bank Indonesia. 
Pasal 5 dan Pasal 6 Izin Usaha dan UUS diberikan oleh Pimpinan Bank Indonesia. 
Bentuk Badan Hukum
Bentuk Badan Hukum Bank Umum, BPR 
Pasal 21 (1): Bentuk hukum Bank Umum dapat berupa Perseroan Terbatas, Koperasi atau Perusahaan Daerah.
Pasal 21(2) : Bentuk hukum BPR dapat berupa Perusahaan Daerah,Koperasi,Perseroan Terbatas, Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 7 : Bentuk badan hukum Bank Syariah adalah Perseroan Terbatas.

( dengan demikian, bentuk badan hukum
Bank Umum Syariah dan BPRS harus Perseroan Terbatas )
Usaha Bank Umum dan BPR / BPRS 
Usaha bank umum 
Pasal 16 dan 17 : Bank Umum dapat melakukan 18 macam usaha
Pasal 19 dan 20 : BUS dapat melakukan 32 macam usaha.
UUS dapat melakukan 21 macam usaha 
BPR/ BPRS 
Pasal 13 : BPR dapat melakukan 4 macam usaha. 
Pasal 21 : BPRS dapat melakukan 5 macam usaha 
Larangan bagi Bank Umum dan BPR
Bank Umum 
Pasal 10 : bank Umum dilarang melakukan usaha penyertaan modal, melakukan usaha perasuransian,melakukan usaha lain sebagaimana yang dimaksud Pasal 6 dan Pasal 7 
Pasal 24 : BUS dan UUS dilarang melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah, kegiatan jual beli secara langsung di pasar modal, penyertaan modal kecuali yang ditetapkan dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan huruf c, kegiatan usaha perasuransian kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.
BPR 
Pasal 14 : BPR dilarang menerima simpanan berupa giro, dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran, melakukan kegiatan valuta asing, penyertaan modal, melakukan usaha perasuransian,melakukan usaha lain sebagaimana yang dimaksud Pasal 13. 
Pasal 25 : BPRS dilarang melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah, menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran, melakukan kegiatan valuta asing, penyertaan modal, melakukan usaha perasuransian,melakukan usaha lain sebagaimana yang dimaksud Pasal 21.
Penggabungan, peleburan,pengambilalihan 
Tidak ada 
Pasal 17 :
(1) Penggabungan,Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah wajib terlebih dahulu mendapat izin dari Bank Indonesia.
(2) Dalam hal terjadi Penggabungan,Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah dengan bank lainnya, bank hasil Penggabungan, Peleburan tersebut wajib menjadi Bank Syariah.
(3) Ketentuan mengenai Penggabungan,Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Struktur Organisasi 
Pemegang saham pengendali 
Tidak ada 
Pasal 27 
Dewan Komisaris dan Direksi 
Pasal 38 dan Pasal 39 
Pasal 28 s.d. Pasal 31 
Dewan Pengawas Syariah 
Tidak ada 
Pasal 32
(1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk oleh Bank Syariah dan Bank umum konvenional yang memiliki UUS.
Good Corrporate Governace 
GCG/Tata Kelola 
Tidak diatur secara khusus dalam pasal tertentu 
Pasal 34  
Penyelesaian Sengketa
Alternatif penyelesaian sengketa
Tidak ada 
Pasal 55
(1) penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;
(2) dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad;
(3) penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksudkan ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. 
Sanksi
Pidana 
Pasal 46 s.d. Pasal 51 
Pasal 59 s.d. Pasal 66 
Administratif 
Pasal 52 dan Pasal53 
Pasal 56 s.d. Pasal 58
- Tidak melaksanakan prinsip syariah
- Melanggar rahasia bank (+sanksi pidana )
- Tidak memberikan keterangan 
 2. HUBUNGAN HUKUM ANTARA BANK SYARIAH DAN NASABAH
Industri perbankan di Indonesia segera memasuki fase baru dalam perkembangannya. Tiga belas tahun merupakan sebuah angka yang cukup matang untuk melihat dan melakukan evaluasi terhadap keberadaan dan kinerja perbankan syariah selama ini. Menurut data Bank Indonesia 2005, saat ini telah berdiri tiga bank umum syariah (BUS), 17 unit usaha syariah (UUS), dan 90 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Perbankan syariah telah menjadi potensi tersendiri di masa datang, walau asetnya masih sekitar 1,35 persen dari total aset perbankan nasional. Tentu banyak hal yang harus dibenahi untuk menguatkan posisi perbankan syariah secara nasional, seiring pelaksanaan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Peran dan fungsi perbankan syariah harus lebih strategis terhadap perbankan nasional dan perekonomian bangsa ke depan.

Catatan
            Ada beberapa catatan kritis untuk pembenahan, sehingga perbankan syariah bisa tumbuh dan berkembang dalam menghadapi persaingan global. Dan yang pasti, terpenuhinya kepatuhan terhadap pelaksanaan nilai-nilai syariah dalam sistem operasional perbankan syariah.
            Pertama, belum adanya Undang-undang (UU) Perbankan Syariah (legal formal), adalah titik kritis pertama yang paling mendesak dalam perkembangan industri perbankan syariah sejak berdirinya Bank Muammalat pada 1992. Melihat perkembangan dan antusiasme masyarakat dalam menyambut keberadaan perbankan syariah, rasanya payung hukum itu sudah sangat mendesak.
Banyak hal yang bisa terselesaikan dengan adanya UU Perbankan Syariah. Misalnya perizinan, pengembangan, posisi perbankan syariah dalam arsitektur perbankan nasional, persoalan merger, fungsi pengawasan, dan lain-lain. Sekarang, tanggung jawab ini ada ditangan para anggota legislatif (terutama fraksi berbasis Islam) untuk memperjuangkan agar RUU Perbankan Syariah segera disahkan.
Kedua, masalah ekuitas pembiayaan (equity financing). Sampai saat ini, persoalan tersebut --dalam hal skim mudharabah dan musyarakah-- masih terus dihadapi oleh perbankan syariah. Besarnya angka skim murabahah (debt financing) di mana data BI terakhir menyebutkan mencapai angka 63,16 persen (posisi Agustus 2005, BI), membuat peran dan fungsi perbankan syariah belum begitu dirasakan masyarakat.
Perbankan syariah perlu mencari terobosan terbaru untuk mengembangkan equity financing, terutama skim mudharabah dan musyarakah, di mana angka BI terakhir menyebutkan berada pada kisaran sekitar 31,86 persen. Di samping itu, penyaluran dana ke sektor riil belum optimal. Hal ini tecermin dari besarnya dana perbankan syariah di BI yang mencapai Rp 1,3 triliun, atau 28 persen dari total dana pihak ketiga (DPK).

Dengan demikian, ke depan diharapkan peran dan fungsi perbankan syariah menggerakkan sektor riil untuk membangun basis sosial ekonomi masyarakat. Dan sudah seharusnya BI melahirkan sebuah standardisasi dalam bentuk benchmark mengenai indikator-indikator pencapaian yang ideal dari perbankan syariah untuk menuju perbankan syariah yang berbasis equity financing (sektor riil).
Ketiga, masalah duplikasi produk. Munculnya persoalan itu ke permukaan karena paradigma pengembangan perbankan syariah di Indonesia selama ini masih terjebak pakem perbankan konvensional. Selama ini, model yang berkembang dalam perbankan konvensional adalah tidak adanya hubungan (relationship) yang kuat antara debitor dan kreditor. Pola yang terbangun hanya hak dan kewajiban tanpa ada komunikasi intens kedua belah pihak. Tanpa disadari, pola ini juga terjadi dalam setiap transaksi pembiayaan perbankan syariah (synthetic loan).
            Perbankan syariah harus mampu mengubah paradigma yang selama ini digunakan perbankan konvensional menjadi pola kemitraan (partnership) yang lebih komunikatif dan memberikan pelayanan yang lebih optimal (full advise). Pemilik modal (rabbul maal) --dalam hal ini pihak bank atau nasabah lainnya-- lebih proaktif mengawasi dan memberikan saran kepada pihak yang menjalankan usaha (mudharib)
Keempat, tidak terpenuhinya kondisi dan persyaratan dari skim murabahah. Besarnya skim pembiayaan murabahah telah memberi kesan perbankan syariah tidak terlalu mengambil risiko dalam menjalankan usahanya. Dalam kaidah fikih, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memberikan pembiayaan dalam bentuk murabahah. Di antaranya objek barang yang akan di jual harus ada pada waktu transaksi, barang yang akan dijual harus sudah dimiliki oleh si penjual, dan objek atau barang yang dijual tersebut harus ada secara fisik pada saat di jual.
Di satu sisi bisa dipahami, sebagai industri yang masih baru berkembang, perbankan syariah tentu cenderung bertahan sebagai pemain yang aman (safety player). Karena revenue atau profit yang akan dihasilkan dari skim pembiayaan murabahah ini lebih pasti, dengan risiko minim. Tapi kenyataanya, sering terjadi di lapangan perbankan syariah hanya mengambil sisi profit oriented saja, tanpa memperhatikan kaidah fikih dari syarat-syarat berlakunya skim murabahah.
Kelima, tidak adanya perbedaan secara ekonomi antara skim murabahah dan bunga pinjaman. Tidak bisa dipungkiri sistem penghitungan antara skim murabahan dengan bunga pinjaman (interest loan) tidak terlalu jauh berbeda, bahkan bisa dikatakan sama

Secara konvensional penghitungan interest loan merujuk kepada persamaan: D = L (I+rt), di mana D = Debt (hutang), L = Loan (pinjaman), rt = rate of interest period (periode tingkat suku bunga). Sementara itu, skim murabahah menggunakan model penghitungan, Pm = Pc (I+rt), di mana Pm = Price of murabahah (harga dari murabahah), Pc = Price of cost, dan rt = rate of revenue period.
Dilihat dari metode penghitungannya, yang menjadi titik kritis perbedaan keduanya adalah cara pandang terhadap rt. Bagi konvensional, rt didefinisikan sebagai tingkat bunga yang sudah ditetapkan oleh pihak bank diawal, untuk mendapatkan keuntungan dari selisih harga pokok dengan pembayaran cicilan (instalment), dan juga disebabkan karena berlakunya teori time value of money. Sementara bank syariah mendefinisikan rt sebagai fee yang diperoleh oleh pihak bank atas jasa yang sudah diberikan. Tapi kadang pemenuhan akan diakuinya transaksi murabahah dalam ushul fikihnya sering tidak diperhatikan.
Keenam, Arbitrase Muamalah. Belum disahkannya UU Perbankan Syariah akan membuat instrumen-instrumen pendukung perbankan syariah belum bisa dijalankan karena akan terkendala dengan payung hukum. Salah satu yang paling mendesak adalah keberadaan lembaga yang akan memfasilitasi setiap masalah yang timbul dalam setiap sengketa yang ada. Diharapkan nantinya UU perbankan syariah bisa memfasilitasi pembentukan instrumen khusus ini. Karena semakin pesat perkembangan perbankan syariah, akan semakin banyak persoalan dan masalah menyangkut hubungan antarinstitusi dan individu.
3. ANATARA AKAD DAN PERJANJIAN
Perjanjian yang digunakan merupakan akad takafuli dan bukan akad tadabuli, bersifat tolong menolong (ta’awun) dengan menggunakan prinsip dasar tabarru’ dan mudharabah serta tidak mengandung unsur Riba (bunga uang), Maisir (Judi), dan Gharar (untung-untungan) yang dilarang dalam akad-akad keuangan Islami. Konsep asuransi syariah adalah konsep tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan sebagaimana telah digariskan dalam QS. Al-Maidah : 2 yang artinya dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa. Ini berarti dalam asuransi syariah semua peserta merupakan satu keluarga besar akan saling melindungi dan secara bersama-sama akan menanggung risiko keuangan dari musibah yang mungkin terjadi. Konsep asuransi syariah ini dilakukan melalui mekanisme perjanjian (akad). Asuransi syariah adalah usaha kerjasama saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang dalam menghadapi terjadinya musibah atau bencana melalui perjanjian yang disepakati bersama. Perjanjian syariah yang digunakan dalam asuransi syariah bersifat takafuli dan menggunakan prinsip dasar tabarru’ dan mudharabah.
Perjanjian bersifat ta’awun dan merupakan akad takafuli dengan prinsip mudharabah dan di dalamnya sudah mencakup tabarru’, ini mengandung pengertian bahwa akad asuransi syariah adalah akad takafuli bukan tadabuli, yaitu akad yang menggunakan prinsip tolong menolong (ta’awun) dengan adanya dana tabarru’ dan dalam pengelolaan dana (investasi) mengunakan prinsip mudharabah melalui instrumen investasi syariah. Akad takafuli yaitu perjanjian sekelompok orang yang disebut partisipan yang secara timbal balik saling menanggung atau menanggung bersama risiko diantara partisipan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Akad asuransi syariah ini merupakan akad takafuli yaitu akad yang menggunakan prinsip tolong menolong (ta’awun) dengan adanya dana tabarru’ dan dalam pengelolaan dana (investasi) menggunakan prinsip mudharabah.
Akad takafuli dalam perusahaan asuransi syariah terdiri dari akad tabarru’ dan akad tijari, dengan menggunakan prinsip mudharabah dan prinsip tabarru’. Akad tabarru’ untuk kepentingan sosial, bukan untuk mencari keuntungan dan bersifat social oriented (hibah/charity), sedangkan akad tijari untuk kepentingan komersial/bisnis, bertujuan mencari keuntungan dan bersifat profit oriented. Akad tabarru’ terkait dengan hubungan antara sesama peserta dengan prinsip saling tolong menolong dan saling menanggung antara satu peserta dengan peserta lainnya (risk sharing), sedangkan akad tijari terkait dengan hubungan antara pemegang polis dengan perusahaan, operasional dan fungsi perusahaan asuransi. Implementasi akad tabarru’ pada asuransi syariah, yaitu peserta memberikan kontribusi berupa dana tabarru’ yaitu sebagian dari premi yang diikhlaskan untuk tolong menolong dan saling menanggung setiap risiko yang ada diantara peserta (risk sharing), perusahaan asuransi bertindak sebagai operator/administrator dalam hal pengumpulan dana peserta (pool of fund), bukan untuk mendapatkan keuntungan tetapi untuk kemaslahatan umat (social oriented). Implementasi akad tijari pada perusahaan asuransi syariah adalah perusahaan asuransi berperan sebagai underwriter dan administrator, collector serta fund manager dimana kontribusi dari peserta bukan sebagai pendapatan tetapi merupakan amanah untuk dikelola secara syariah, perusahaan asuransi akan mendapatkan management fee dari fungsinya sebagai administrator dan untuk memanfaatkan dana Tabarru’/pool of hibah fund, perusahaan akan mendapatkan bagi hasil atau fee.
Pada prinsipnya akad asuransi syariah menggunakan prinsip tabarru’ dan mudharabah, namun dalam perkembangannya secara operasional asuransi syariah tidak hanya menggunakan akad mudharabah dan akad tabarru’ tetapi juga tidak menutup kemungkinan menggunakan akad wakalah, wakalah bil ujrah, musyarakah, mudharabah musytarakah. Perjanjian asuransi syariah tidak hanya menggunakan akad tabarru’ dan mudharabah tetapi juga akad-akad lainnya sebagaimana yang terdapat dalam Fatwa DSN-MUI seperti tabarru’, mudharabah, wakalah/wakalah bil ujrah, mudharabah musytarakah serta dalam suatu perjanjian asuransi dapat mengandung beberapa akad. Berdasarkan produk dasar asuransi syariah, perjanjian asuransi syariah menggunakan akad tabarru’, akad mudharabah, dan akad wakalah bil ujrah. Mekanisme asuransi syariah berupa perjanjian (akad) dan berlaku untuk jangka waktu tertentu, bisa short term ataupun long term.
Fenomena yang berkembang saat ini menunjukkan makin berkembangnya pertumbuhan sistem keuangan dan perbankan syariah di tanah air secara khusus dan di dunia secara umum. Hal ini disebabkan karena sistem keuangan syariah salah satu diantara yang mampu bertahan dalam krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi saat ini. Di satu sisi hal ini merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan dan patut mendapatkan apresiasi, namun di sisi lain perlu adanya peningkatan pemahaman dari seluruh masyarakat  tentang informasi yang lengkap mengenai produk pembiayaan berdasarkan akad-akad syariah, sehingga masyarakat menyadari betul manfaat dan keunggulannya dibanding dengan sistem konvensional. Dengan kesadaran yang muncul dari pemahaman ini diharapkan mampu menghantarkan mereka menjadi konsumen/nasabah yang loyal terhadap produk-produk syariah.
4. pedoman umum penyusunan suatu kontrak perjanjian
A. Prinsip Titipan atau Simpanan (Depository)
 AL-WADI’AH
Pengertian:
Wadi’ah merupakan simpanan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain yang bukan pemiliknya untuk tujuan keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang kepada pihak yang menerima titipan dengan catatan kapanpun titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali uang/barang titipan tsb dan yang dititipi menjadi penjamin pengembalian barang titipan.
 Landasan Syari’ah:
  1. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya...” (QS. An-Nisaa: 58).
  2. Abu Hurairah meriwayatkan bhw Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Hakim).
  3. Ijma para ulama terhadap legitimasi al-wadi’ah krn kebutuhan manusia thd hal itu sebagaimana dikutip oleh Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatiha.
 B. Prinsip Bagi Hasil (Profit-Sharing)
1.      AL-MUSYARAKAH (PARTNERSHIP, PROJECT FINANCING PARTICIPATION)
Pengertian:
Al-Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau amal (expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
 Landasan Syariah:
  1. “...maka mereka berserikat pada sepertiga...” (QS. An-Nisa: 12)
  2. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya” (HR. Abu Dawud dan Hakim)
  3. Ijma para ulama sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus  terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya”.
Jenis-jenis al-Musyarakah:
  1. Syirkah al-‘Inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati diantara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan.Mayoritas ulama membolehkan jenis al-musyarakah ini.
  2. Syirkah Mufawadhah adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis al-musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak.
  3. Syirkah A’mal adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerjasama dua orang arsitek utk menggarap sebuah proyek atau kerjasama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. Al-Musyarakah ini kadang-kdadang disebut musyarakah abdan atau sanaa’i.
  4. Syirkah Wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tsb secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar pada jaminan tsb. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai musyarakah piutang.

2.  AL-MUDHARABAH (TRUST FINANCING, TRUST INVESTMENT)
Pengertian:
Mudharabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tsb.
Landasan Syariah:
  1. “...dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari mencari sebagian karunia Allah SWT...” (QS. Al-Muzammil: 20).
  2. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdil Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas pada dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya”. (HR. Thabrani).
  3. Ijma para Sahabat sebagaimana dikutip oleh Imam Zaila’i, beliau menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah.
 Jenis-jenis al-Mudharabah:
  1. Mudharabah Muthlaqah: adalah bentuk kerjasama antara shahibul mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan  fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul mal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
  2. Mudharabah Muqayyadah: adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha.  

3.  AL-MUZARA’AH (HARVEST-YIELD PROFIT SHARING)
Pengertian:
Al-Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) hasil panen.
Al-Muzara’ah seringkali diidentikan dengan mukhabarah. Diantara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut. Muzara’ah: benih dari pemilik lahan, sedangkan mukhabarah: benih dari penggarap.
Landasan Syariah:
  1. Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.
  2. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jbir yang mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/3:2/3 , 1/4:3/4 , 1/2:1/2, maka Rasulullah pun bersabda: “Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barangsiapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya”
  3. Ijma. Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu ja’far: “Tidak ada satu rumahpun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4. Hal ini telah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdil Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar dan keluarga Ali”.
 4. AL-MUSAQAH (PLANTATION MANAGEMENT FEE BASED ON CERTAIN PORTION OF YIELD)
Pengertian:
Al-Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Landasan Syariah:
1.      Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah dan tanaman kurma di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan mempergunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.
2.       Ijma. Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bahwa Rasulullah     SAW telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atasdasar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, serta keluarga-keluarga mereka sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4. Semua telah dilakukan oleh Khulafa ar-Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak telah mengetahuinya, tetapi tak ada seorangpun yang menyanggahnya. Berarti, ini adalah suatu ijma sukuti dari umat.
5. FATWA DAN PENAFSIRAN IMPLEMENTATIFNYA DALAM REGULASI
Penegasan legal formal tentang otoritas dan mekanisme kepatuhan syariah dalam regulasi perbankan syariah di Indonesia baru ada setelah berlakunya Undang-Undang (UU) nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pada 16 Juli 2008. UU tersebut menggariskan bahwa otoritas kepatuhan syariah berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS), yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) pada bank konvensional1. Penjabaran otoritas MUI itu diwujudkan dalam dua hal.
Pertama, tahap perumusan prinsip syariah. MUI menjadi otoritas resmi dalam membuat fatwa tentang prinsip syariah2. Karena fatwa MUI bukan bagian sumber hukum dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang mengikat3, maka agar berkekuatan operasional, fatwa itu dituangkan dalam wadah legal berupa Peraturan Bank Indonesia (BI). Proses peralihan dari fatwa MUI menjadi Peraturan BI itu dikelola oleh Komite Perbankan Syariah (KPS), sebuah komite di internal BI.4
Kedua, tahap pengawasan. Mekanisme pengawasan kepatuhan syariah diwujudkan dalam bentuk penyediaan divisi kontrol internal bank syariah berupa DPS di setiap bank syariah. Peran MUI adalah memberi rekomendasi calon anggota DPS sebelum ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). DPS inilah yang merepresentasikan otoritas kepatuhan syariah dari MUI untuk diterapkan pada tiap bank syariah.5 DPS menjadi kepanjangan tangan MUI untuk memonitor implementasi fatwa MUI. Setahun sebelum lahir UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, keharusan DPS di setiap perseroan yang melakukan usaha berbasis syariah sudah diamanatkan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Berikut kutipan pasal 109 dalam UU itu6: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas.  (2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. (3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. Bila ditarik ke belakang lagi, sebelum ada UU PT, keberadaan DPS telah menjadi praktek yang hidup dalam penyelenggaraan perbankan syariah di Indonesia. Sepanjang praktek itu, MUI sudah berperan sebagai pemberi rekomendasi calon personil DPS7. Telaah terhadap penunjukan MUI sebagai pemegang otoritas kepatuhan syariah ini akan lebih bermakna bila ditempatkan sebagai hasil perdebatan sengit di parlemen di antara tiga model otoritas kepatuhan syariah yang digulirkan. Dua opsi lain yang ditolak menawarkan skema bahwa pemegang otoritas kepatuhan itu adalah sebuah dewan atau komite independen di bank sentral. Karena dua opsi itu dinilai dapat membuat otoritas fatwa tidak indenden, maka kemudian dipertahankan di MUI.
Pembahasan klausul otoritas kepatuhan syariah dalam UU Perbankan Syariah 2008 diwarnai tarik menarik tajam. Pembahan RUU Perbankan Syariah sendiri memang kental tarik menarik politik. Hal itu karena RUU ini berada dalam konteks besar polemik politik cukup panjang, tentang bagaimana proporsi agama (termasuk syariah) dalam bingkai negara-bangsa.dan Indikasi kentalnya nuansa politik itu ditandai walk out-nya Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS) dari pembahasna RUU sejak awal. Bagi penolak pembahasan seperti PDS ini, usulan RUU bermuatan syariah merupakan keganjilan di tengah negara-bangsa (bukan negara agama) seperti Indonesia. Tapi bagi mayoritas fraksi, adopsi elemen agama tertentu dalam sistem hukum nasional merupakan hal yang wajar, sejauh memenuhi argumen yuridis, sosiologis, dan filosofis dalam proses legislasi.
Ada dua materi yang menyedot perdebatan paling alot dalam pembahasan RUU Perbankan Syariah
pertama, masalah mekanisme penyelesaian sengketa. Pokok perdebatannya adalah, apakah penyelesaian sengketa menjadi kewenangan absolut lingkungan peradilan agama, ataukah lingkungan peradilan umun, atau bisa secara opsional, terserah para pihak yang bertransaksi, sesuai kesepakatan dalam akad.
Kedua, masalah otoritas yang berwenang mengontol prinsip kepatuhan syariah (syariah compliance). Apakah otoritas itu dialihkan pada badan di bank sentral atau otoritas jasa keuangan, dengan catatan dikritik dapat menurunkan independensi otoritas fatwa, atau dikukuhkan berada di MUI, lembaga non-negara dan dinilai lebih independen12, sebagaimana praktik yang berlangsung sejak awal 2000-an.
Kronologi polemik hingga mencapai kompromi akhir nanti dipaparkan untuk kemudian dianalisis, apakah formula kompromi itu secara normatif masih bisa menjamin terselanggaranya tata kelola pebankan syariah yang baik atau lebih mencerminkan hasil adu silang kepentingan, sehingga aspek profesionalitas cenderung dinomorduakan. Apa keunggulan dan kelemahan hasil kompromi itu. Sebelum dilakukan analisis, akan dikemukakan, bagaimana konteks panjang politik hukum di bidang perbankan syariah selama ini.
Latar belakang perjalanan politik hukum regulasi perbankan syariah di Indonesia penting dikemukakan sekilas untuk bisa memahami konteks dan suasana kebatinan di balik terjadinya tarik menarik saat pembahasan klausul otoritas kepatuhan syariah dalam RUU Perbankan Syariah. Dalam sejarahnya, selama ini, negara kurang begitu peduli mengurus payung regulasi perbankan syariah. Karena itu, pertumbuhan awal perbankan syariah lebih banyak dirawat oleh lembaga non-negara, dalam hal ini MUI. Maka ketika otoritas MUI dalam kepatuhan syariah tiba-tiba hendak dicabut, di saat perkembangan dan prospek perbankan syariah amat menjanjikan, tentu saja sejumlah pihak tidak bisa menerima begitu saja.
Bukan semata alasan ikatan emosional, tapi juga relevan bila MUI mengemukakan alasan kompetensi dan independensi. Karena MUI yang selama ini tahu persis problem keagamaan yang melilit perjalanan perbankan syariah, dan MUI pula yang selalu memberi
fatwa, sebagai solusi keagamaan atas problematika perbankan syariah, maka bisa dimengerti bila MUI yang dipandang memiliki kompetensi paling terlatih dan teruji. Berikut kutipan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menyampaikan tanggapan pemerintah terhadap RUU Perbankan Syariah
usulan DPR. Ia menolak gagasan membentuk DSN yang menjadi bagian bank sentral atau otoritas jasa keuangan Berkenaan dengan keberadaan Dewan Syariah Nasional yang saat ini berada di bawah pembinan dan pengawasan Majelis Ulama Indonesia, kami berpendapat bahwa sebagai suatu lembaga independen yang berwenang mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk, dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud olehlembaga-lembaga keuangan syariah, maka dalam rangka tetap menjaga independensi Dewan Syariah Nasional, sudah seharusnyalah Dewan Syariah Nasional tetap berad di bawah Majelis Ulama Indonesia dan bukan menjadi bagian dari instansitertentu.





















DAFTAR PUSTAKsA
Ir. Adiwarman A. Karim, S.E, MBA, M,A,E,P. Bank Islam Analisis Fiqih Dan Keuangan. PT Raja Grapido Persada: Jakarta 2010

Ahmad Selamet dan Hoscaro, Manajemen Risiko Bank Syariah, 2008, <http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/11/manajemen_risiko_bank_syariah.html>  Diakses pada 01 November  2008.
Ferry N. Idroes, Manajemen Risiko Perbankan: Pemahaman Pendekatan 3 Pilar Kesepakatan Basel II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: